Minggu, 04 Juli 2010
Sepakbola,Biko,dan anti-Apartheid
Laporan langsung
wartawan
Kompas.com, Hery
Prasetyo, dari
Afrika Selatan.
PRETORIA,
KOMPAS.com -
Sepak bola
sebenarnya cukup
mengakar di
masyarakat kulit hm
dan itam di Afrika
Selatan. Bahkan,
olahraga ini amat
merakyat, karena
mudah dan bisa
dimainkan di mana
saja.
Di era Apartheid,
sepak bola malah
menjadi katarsis bagi
rakya yang tertindas.
Mereka sering
memainkan sepak
bola di mana pun,
termasuk di lahan-
lahan sempit. Jika tak
ada bola, rumput
digulung pun bisa
dimainkan.
Itu yang terjadi di
masa Apartheid.
Sebab, fasilitas
umum yang penting
dikuasai kulit putih.
Sedangkan kulit
hitam dan berwarna
harus hidup di areal
berbeda yang
biasanya kumuh,
gersang, dan
terpojok.
Masyarakat kulit
hitam dan berwarna
terus mendapat
tekanan. Mereka tak
diberi ruang sedikit
pun untuk
menyalurkan
pendapat,
berekspresi, apalagi
memprotes politik
Apartheid yang jelas-
jelas menindas kaum
lain sejak ratusan
tahun dan bahkan
dinyatakan secara
resmi pada 1948.
Meski begitu, di
antara kesempitan
berpendapat dan
berekspresi, ada
sedikit ruang yang
bisa dimanfaatkan
masyarakat kulit
hitam untuk saling
berdiskusi,
menyalurkan
pendapat, dan
memikirkan masa
depan. Ruang itu
salah satunya
bernama sepak bola.
Ya, pemerintah
berkuasa kulit putih
waktu itu tak terlalu
curiga jika warga kulit
hitam bermain sepak
bola. Ini
dimanfaatkan betul
oleh orang kulit putih.
Salah satu tokoh
anti-Apartheid yang
memanfaatkannya
adalah Steven Biko
atau sering dipanggil
Steve Biko.
Dia adalah aktivis
anti-Apartheid yang
terus berjuang
menghapuskan politik
pembecaan rasial itu
di bumi Afsel. Seperti
halnya Nelson
Mandela, Biko juga
konsisten terhadap
perjuangannya.
Dia banyak menulis
artikel yang terus
mengkritik Apartheid.
Dia juga terus
berusaha
membangkitkan
warga kulit hitam
agar lebih kuat. Ada
satu kalimat darinya
yang sangat populer
di Afsel, "Hitam itu
indah."
Namun, pada 1973,
Biko dibatasi
gerakannya. Dia tak
boleh lagi berbicara
dengan lebih dari satu
orang. Dia tak boleh
berbicara di depan
massa.
Biko tak kurang akal.
Dia pindah ke Eastern
Cape, tempat
kelahirannya. Di sini,
pengawasan tetap
ketat, tapi masih
sedikit leluasa. Dia
banyak
memanfaatkan
sepak bola untuk
menyampaikan
pesan-pesannya.
Sembari bermain
sepak bola, dia sering
berbicara kepada
pemain lain agar
pesaannya
disebarkan. Ini salah
satu cara dia
mengatasi tekanan
untuk
membangkitkan
warga kulit hitam.
Dalam tekanan
seperti itu, dia masih
bisa membentuk
organisasi-organisasi
yang bertujuan
menyadarkan rakyat
kulit hitam akan
kesamaan,
kemerdekaan, dan
kebebasan.
Polisi Afsel akhirnya
menangkap Biko pada
21 Agustus 1977. Dia
disiksa di penjara.
Pada 11 September
1977, polisi
memasukkannya ke
mobil Land Rover
untuk dibawa dari
Cape Town ke
Pretoria. Karena
besarnya siksaan,
sesampainya di
Pretoria Biko
meninggal dunia
dengan kepala penuh
luka siksaan. Namun,
hingga kini para pollisi
penyiksanya tak
pernah ditahan.
Biko telah gugur.
Mungkin dia tak
pernah bisa
merasakan
kebebasan kulit
hitam setelah
Apartheid
dihabpuskan pada
1994. Namun,
namanya akan selalu
dikenang. Bahkan, dia
disebut martir anti-
Apartheid.
Rakyat Afsel kini
menghormatinya.
Sebab, Biko ikut
meletakkan dasar-
dasar pejuangan
menghilangkan
Apartheid dari bumi
Afsel. Dan, salah
satu jalan
perjuangannya adalah
lewat sepak bola.
Ah, seandainya
masih hidup, dia akan
sangat bahagia
karena negerinya bisa
menjadi tuan rumah
Piala Dunioa 2010.
Bahkan, dia pasti
akan mendapat
tempat dan waktu
untuk berpidato di
acara pembukaan,
seperti halnya
Desmond Tutu, Jacob
Zuma, dan Nelson
Mandela (sayang
Mandela akhirnya
urung). Namun, jelas
dia tak akan bicara
soal memerangi
Apartheid, melainkan
kejayaan dan
kebanggan Afsel
secara keseluruhan,
tanpa membedakan
warna kulit.
"Different tribe, one
pride, one support,
one win," demikian
slogan Afsel yang
artinya, berbeda suku
tapi satu
kebanggaan, satu
dukungan, dan satu
kemenangan.
(Bersambung)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar