Cari Blog Ini

Sabtu, 19 Juni 2010

Sepakbola Indah Sudah Lama Musnah

Oleh Budiarto Shambazy Belum lama ini Carlos Alberto Torres (65), kapten Brasil yang merebut gelar "tri" (juara dunia untuk ketiga kalinya) di Meksiko 1970, bertemu Franz Beckenbauer (64). "Saya pernah melatih. Beckenbauer sahabat saya. Suatu kali di rumahnya di Austria dia bilang, 'Carlos, kamu tahu apa masalah pelatih? Kita memaksa pemain meniru kita'. Sejak itu saya paham," kata pencetak gol ketiga di final 1970 itu. Gol Carlos Alberto karya seni awal yang melahirkan "sepak bola indah" (jogo bonito atau joga bonito). Saat pertandingan nyaris usai, Italia yang menekan kehilangan bola. Lewat serangan balik bak musik orkestra, si kulit bundar mengalir indah mampir ke tujuh pemain. "Selecao" (tim nasional) menyajikan encore yang indah lewat Carlos Alberto yang menghunjamkan tendangan mendatar menipu kiper Enrico Albertosi yang terbengong. Saat itulah lahir salah satu fitur terpenting sepak bola indah, yakni peran bek yang aktif mendukung serangan jauh ke depan lewat kedua sayap meniru gaya Carlos Alberto. Pengaruh global bek sayap ini amat besar dan ditiru di mana- mana, mulai dari Paul Breitner dan Bertie Vogts di tim nasional Jerman Barat sampai Simson Rumahpasal atau Sutan Harhara di tim nasional PSSI. Sayangnya, musik jogo bonito hanya terdengar sayup- sayup tahun 1970 dan 1982. Jika tahun 1970 dirigennya Carlos Alberto, tahun 1982 dirigennya Socrates yang juga kapten Selecao. Mereka kecewa kepada Dunga, pelatih saat ini. Carlos Alberto malas ke Afrika Selatan, lebih suka menonton di televisi. Jika Carlos Alberto menuding Dunga melecehkan jogo bonito, Socrates menuduh Dunga "menghina warisan budaya nasional". Apa pun alasannya, mereka mestinya paham bahwa menciptakan jogo bonito bukan membalik telapak tangan. Tim butuh lebih dari separuh pemain berbakat. Tahun 1970 ada Carlos Alberto, Pele, Gerson, Tostao, Jairzinho, dan Rivelino. Tahun 1982 ada Socrates, Zico, Eder, Toninho Cerezo, Falcao, dan dua bek sayap, Junior serta Leandro. Mereka berbakat alam yang ditempa pelatih yang mengandalkan metode tradisional. Untuk agility, misalnya, remaja dibiasakan berlari mengejar ayam atau dipaksa tidur bersama bola. Di kota-kota pantai mereka terlatih main voli dengan kaki atau sepak bola pantai di atas pasir —alas yang jauh lebih berat dibandingkan dengan rumput. ”Kebebasan koreografis” Syarat mutlak lainnya, jogo bonito butuh anak miskin yang punya mimpi dan harapan kolektif mengikuti jejak Pele, Zico, Romario, Bebeto, Ronaldo, atau Kaka. Kombinasi skill individu dengan kolektivitas ini yang jadi landasan. Selain itu, kata Carlos Alberto, ada faktor mistis yang sukar terjawab. Para ilmuwan menyebutnya dengan ”kebebasan koreografis” yang menoleransi pemain berimprovisasi, seperti mondar- mandir di lapangan sesuka hati tanpa perlu mendengar instruksi pelatih. Kebebasan ini yang menciptakan fitur- fitur sepak bola indah. Selain winger back, fitur penting lainnya adalah tendangan pisang, gerakan tanpa bola (lay-off), dan memaksimalkan ruang tak terlihat (blind sides). Itu yang membuat tim 1982 asuhan Tele Santana, pelatih yang terlalu santai, menyajikan jogo bonito terbaik. Ironisnya, justru sikap "semau gue" itu yang membuat mereka dijungkalkan Italia. Santana kurang disiplin seperti pelatih 1970, Mario Zagallo, yang secara pas meramu kebebasan koreografis dengan disiplin militer. Itu sebabnya, tim 1970 jauh lebih metodologis dan efisien meski tetap indah. Sebaliknya, tim 1982 jauh lebih indah walau kurang efisien. Puncak keindahan jogo bonito sampai kini terjadi ketika Socrates mencetak gol ke gawang Italia yang menang 2-3. Zico mengontrol bola membelakangi lawan menerima throw-in dari Socrates di tengah. Ia balik badan menggiring bola melewati beberapa lawan ke kotak penalti, serta-merta menyeret perhatian lini belakang Italia yang mengeroyok dia di depan kotak penalti. Tanpa dinyana, Zico tanpa menoleh mengoper bola jauh ke sayap kanan yang melompong dan di situ sudah menunggu Socrates yang lari kencang. Dari sudut sempit dan tak terlihat, Socrates menaklukkan kiper Dino Zoff dengan tendangan perlahan. Jogo bonito punah tahun 1982. Sempat ada masa transisional ketika tim 1978 diasuh Claudio Cautinho, yang mewarisi sebagian pemain Zagallo tahun 1970-1974 seperti Rivelino dan Jairzinho. Tahun 1978 itu Brasil dianggap "juara tanpa mahkota" karena tuan rumah Argentina main mata dengan Peru di semifinal menyingkirkan Brasil yang kalah selisih gol. Jogo bonito memang tak pernah dilestarikan dan buktinya Brasil bisa jadi juara tahun 1994 dan 2006. Penyerang berbakat banyak, seperti Bebeto, Romario, atau Ronaldo. Play maker? Jumlah dan kualitasnya terbatas, seperti Dunga, Ronaldinho, atau Kaka. Tim 2010 ini pasti tak indah, miskin play maker, walau jadi salah satu favorit kuat menjadi juara keenam kalinya. Dan, Brasil masih beruntung karena tim-tim favorit kebetulan juga mengalami defisit play maker. Meski tetap manis dikenang, jogo bonito bak harta karun yang dibuang. Denmark 1980-an bangga menyebut diri sebagai "Brasil Eropa", negara-negara Teluk Persia berlomba minta dijuluki "Brasil Asia", PSSI pernah berguru ke Brasil tahun 1970-an dan mendatangkan pelatih Joao Barbatana. Mungkin orang yang paling tak bangga cuma Dunga, yang menyia-nyiakan dua pemain amat berbakat: Neymar dan Ganso. Tiap ada Piala Dunia, sebagian orang Brasil pasti menggerutu, "para onde vais"? Brasil, mau ke mana? (Kompas Cetak)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar