Cari Blog Ini

Senin, 28 Juni 2010

Apartheid, Kepedihannya Masih Terasa

JOHANNESBURG, KOMPAS.com — Berada di Afrika Selatan (Afsel) rasanya tak afdal jika tak mengenang kembali apartheid di negeri itu. Politik pembedaan berdasarkan ras tersebut memang sebuah kejahatan kemanusiaan amat menakutkan. Kulit putih yang berkuasa menempatkan diri sebagai warga paling istimewa, sedangkan warga kulit berwarna (coloured) dan kulit hitam dianggap warga pinggiran. Penguasa bahkan selalu menekan, menyiksa, dan membantai warga kulit hitam demi mempertahankan kekuasaan dan keistimewaannya sebagai warga spesial. Apartheid sebenarnya sudah berlangsung lama di Afsel. Namun, pemerintahan National Party menetapkannya secara resmi dan diperkuat dengan undang-undang pada 1948. Apartheid baru berakhir pada 1994. Artinya, politik membedakan warga berdasarkan ras itu baru berakhir dalam 16 tahun. Sangatlah muda. Sementara apartheid sudah berlangsung ratusan tahun meski secara resmi baru pada 1948. Digelarnya Piala Dunia 2010 di Afsel seolah kembali mengingatkan warga dunia kepada kekejaman apartheid. Wajar jika suporter dari luar negeri banyak yang menyempatkan diri mengunjungi Museum Apartheid di Johannesburg. Senin (14/6/2010), Kompas.com berkesempatan mengunjungi museum bersejarah itu. Begitu masuk, kepedihan akibat apartheid masih terasa. Bahkan, hati seolah teriris-iris mengenang luka menganga, juga derita yang dialami warga non-kulit putih (terutama kulit hitam) selama kekuasaan apartheid yang berakhir 1994 itu. Museum itu menjadi rekaman kekejaman apartheid, juga perjuangan warga tertindas menegakkan keadilan. Pengelola memberi dua jenis tiket: jalan putih atau hitam. Ini langsung mengingatkan kembali masa-masa apartheid yang memisahkan warga kulit putih dan hitam, baik dalam perlakuan, kekuatan hukum, fasilitas, wilayah, maupun hak-haknya. Apalagi, begitu masuk ruang museum langsung disuguhi beberapa kartu identitas korban tewas akibat kekejaman apartheid. Setelah itu, kita bisa membaca kembali beberapa pernyataan tokoh kulit putih maupun kulit hitam, dari Steven Biko, Desmond Tutu, sampai sang tokoh besar anti-apartheid Nelson Mandela. Tentu, Mandela mendapat porsi yang besar di museum itu. Selain ada beberapa catatan pidato Mandela, Biko, dan Tutu, ada pula ruang penjara tiruan yang dipakai pemerintah apartheid untuk mengurung warga kulit hitam yang dianggap membangkang. Bahkan, ada ruangan penuh tali gantungan, menggambarkan betapa banyak warga kulit hitam yang pernah digantung oleh pemerintah apartheid. Mobil Mandela juga dipajang di sana, selain beberapa buku dan catatan masa lalu. Selain itu, juga ada beberapa catatan tentang apartheid yang bisa menjadi referensi maupun kenangan pahit, sekaligus pelajaran kemanusiaan. Museum juga menyediakan dua ruang teater. Yang satu menjelaskan sejarah Afrika Selatan dan munculnya apartheid. Satunya lagi menyajikan film tentang kekejaman pemerintah apartheid selama berkuasa. Rekaman dokumenter itu masih begitu jelas. Polisi kulit putih tak segan-segan menyerbu perkampungan kulit hitam, kemudian menyeret pemuda dan anak-anak. Mereka biasanya akan diinterogasi dan disiksa. Ada pula rekaman gerakan anti-apartheid yang dibalas oleh kekejaman tentara dan polisi kulit putih. Menculik, menyiksa, membunuh, dan menahan para tokohnya tergambar jelas dalam rekaman film itu. Bahkan, anak-anak pun tak lepas dari penangkapan untuk disiksa, diintimidasi, dan dicuci otaknya. "Orang kulit putih adalah penguasa Afrika Selatan. Dan, secara alamiah dari asalnya, dari lahirnya, juga dari kekuatannya, orang kulit putih akan tetap berkuasa di Afrika Selatan sampai akhir zaman," demikian pernyataan arogan dewan perwakilan rakyat semasa pemerintahan apartheid pada 15 Maret 1950, seperti terpampang dalam catatan di museum itu. Arogansi itu ditentang oleh para tokoh kulit hitam, termasuk Nelson Mandela. Tokoh yang rela dihukum selama 27 tahun itu pernah mengatakan, "Kebebasan bukan semata-mata melepaskan rantai dari tangan seseorang. Kebebasan adalah hidup dengan cara yang saling menghormati dan saling membantu kebebasan orang lain." Arogansi kekuasaan kulit putih yang didasarkan pada sentiman ras bertarung dengan semangat kebebasan hakiki kulit hitam. Sebuah pertarungan sengit yang meninggalkan catatan hitam dan kelam, juga mengiris hati hingga mengaduk lubuk paling dalam. Sebab, pada akhirnya arogansi itu menampakkan kekejamannya. Namun, di sisi lain ada haru-biru yang menggumpal di kalbu. Sebab, perjuangan para tertindas membangun persamaan, kebebasan, dan kemerdekaan begitu luar biasa. Apalagi, perjuangan yang dilalui dengan derita dan luka itu akhirnya menemukan keberhasilannya. Sudah 16 tahun apartheid dibubarkan. Afsel kini menjadi negara demokrasi yang menganut persamaan ras, kebebasan, kemerdekaan, tanggung jawab, dan kesediaan melakukan rekonsiliasi. Sebuah tujuan mulia yang akan menuntun Afsel menuju masa depan lebih baik. Namun, luka apartheid itu masih terasa. Masa 16 tahun terlalu singkat untuk menghilangkan segala nyeri dan ngeri, duka dan luka, pilu dan kelu, tangis dan teriris, kematian dan kepedihan, darah dan amarah. (Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar